ikuti link PuisiLover@groups.facebook.com untuk bergabung bersama kami di Facebook

Sabtu, 26 Maret 2011

YANG SELALU TERAPUNG DI ATAS GELOMBANG

Seseorang dianggap tak bersalah, 
sampai dia dibuktikan hukum bersalah. 
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. 
Kini simaklah sebuah kisah, 
  
Seorang pegawai tinggi, 
gajinya sebulan satu setengah juta rupiah, 
Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam, 
BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah. 
Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier dan Savannah. 
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan 
Macam Macam Indah, 
Setiap semester ganjil, 
isteri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. 
Setiap semester genap, 
isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika, 
 
Anak-anaknya pegang dua pabrik, 
tiga apotik dan empat biro jasa. 
Saudara sepupu dan kemenakannya 
punya lima toko onderdil, 
enam biro iklan dan tujuh pusat belanja, 
Ketika rupiah anjlok terperosok, 
kepleset macet dan hancur jadi bubur, 
dia ketawa terbahak- bahak 
karena depositonya dalam dolar Amerika semua. 
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat, 
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat, 
 
Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri, 
maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi. 
Isinya masing-masing lima genggam beras, 
empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi. 
Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi, 
dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali, 
  
Gelombang mau datang, datanglah gelombang, 
setiap air bah pasang dia senantiasa 
terapung di atas banjir bandang. 
Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi, 
lalu dia berkata begini, 
"Yah, masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri," 
  
Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah: 
kekayaan misterius mau diperiksa, 
kekayaan tidak jadi diperiksa, 
kekayaan mau diperiksa, 
kekayaan tidak diperiksa, 
kekayaan harus diperiksa, 
kekayaan tidak jadi diperiksa. 
Bandul jam tua Westminster, 
tahun empat puluh satu diproduksi, 
capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri, 
  
Kemudian ide baru datang lagi, 
isi formulir harta benda sendiri, 
harus terus terang tapi, 
dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi, 
karena ini soal sangat pribadi, 
Selepas itu suasana hening sepi lagi, 
cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali, 
Seseorang dianggap tak bersalah, 
sampai dia dibuktikan hukum bersalah. 
 
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. 
Bagaimana membuktikan bersalah, 
kalau kulit tak dapat dijamah. 
Menyentuh tak bisa dari jauh, 
memegang tak dapat dari dekat, 
  
Karena ilmu kiat, 
orde datang dan orde berangkat, 
dia akan tetap saja selamat, 
Kini lihat, 
di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania, 
seraya menghirup teh nasgitel 
dia duduk menerima telepon 
dari isterinya yang sedang tur di Venezia, 
sesudah menilai tiga proposal, 
dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja, 
  
Sementara itu disimaknya lagu favorit My Way, 
senandung lama Frank Sinatra 
yang kemarin baru meninggal dunia, 
ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta 
dari sangkar tergantung di atas sana 
dan tak habis-habisnya 
di layar kaca jinggel bola Piala Dunia, 
 
Go, go, go, ale ale ale... 
 
  
1998

Tuhan Sembilan Senti

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa
tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai
merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR
merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi
merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan
pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok, di ruang kepala
sekolah ada guru merokok, di kampus mahasiswa merokok, di ruang kuliah
dosen merokok, di rapat POMG orang tua murid merokok, di perpustakaan
kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok, di bis kota sumpek yang berdiri yang
duduk orang bertanding merokok, di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok, di kapal penyeberangan
antar pulau penumpang merokok, di andong Yogya kusirnya merokok, sampai
kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi
tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok, di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran di
toko buku orang merokok, di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling
menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di
kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat
penularannya ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di
dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok, di apotik yang antri obat
merokok, di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok, di ruang tunggu
dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok, di pinggir lapangan voli orang
merokok, menyandang raket badminton orang merokok, pemain bola PSSI
sembunyi-sembunyi merokok, panitia pertandingan balap mobil, pertandingan
bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor
perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil 'ek-'ek orang goblok merokok, di
dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok, di
ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok
merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi orang
perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat
merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli
hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi
ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip
berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, ke
mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99
butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan
tangan kiri. Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul
yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu. Mamnu'ut
tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz. Kyai, ini ruangan
ber-AC penuh. Haadzihi al ghurfati malii'atun bi mukayyafi al hawwa'i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok. Laa taqtuluu anfusakum.

Min fadhlik, ya ustadz. 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15
penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000
zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu 'alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama. Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang
diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu
ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap
rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai
terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120
orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih
dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas, lebih gawat ketimbang
bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban
narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa
di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan
celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan
indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku' dan
sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan
fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap
tuhan-tuhan ini,

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.


****
Taufiq Ismail

TENTANG SERSAN NURCHOLIS

                        Seorang Sersan
                        Kakinya hilang
                        Sepuluh tahun yang lalu
 
                        Setiap siang
                        Terdengan siulnya
                        Di bengkel arloji
 
                        Sekali datang
                        Teman-temannya
                        Sudah orang resmi
 
                        Dengan senyum ditolaknya
                        Kartu anggota
                        Bekas pejuang
 
                        Sersan Nurcholis
                        Kakinya hilang
                        Di jaman Revolusi
 
                        Setiap siang
                        Terdengan siulnya
                        Di bengkel aroloji
 
                                                (1958)
                                                 Budaja Djaja
                                                 Thn. VI, No. 61
                                                 Juni 1973

TAKUT 66, TAKUT 98

Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
takut '66, takut '98 - 1998

(1998)

SYAIR EMPAT KARTU DI TANGAN

Ini bicara blak-blakan saja, bang 
Buka kartu tampak tampang 
Sehingga semua jelas membayang 
Monoloyalitas kami 
sebenarnya pada uang 
Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara 
Koyak tampak terkubak semua 
Sehingga buat apa basi dan basa 
Sila kami 
Keuangan Yang Maha Esa
Jangan sungkan buat apa yah-payah 
Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah 
Tak usahlah sah-susah 
Ideologiku begitu jelas 
ideologi rupiah
Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan 
Setiap jeroan berjajar kelihatan 
Sehingga jelas sebagai keseluruhan 
Asas tunggalku 
memang keserakahan.
   

1998

SERATUS JUTA

        Umat miskin dan penganggur berdiri hari ini Seratus juta banyaknya Di tengah mereka tak tahu akan berbuat apa Kini kutundukkan kepala, karena Ada sesuatu besar luar biasa Hilang terasa dari rongga dada Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja berdiri hari ini Seratus juta banyaknya Kita mesti berbuat sesuatu, betapun sukarnya. 1998 Republika, 16 Agustus 1998 Sajak-sajak Reformasi Indonesia Taufik Ismail

Sebuah Jaket Berlumur Darah

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan berahun-tahun

Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan'
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN


1966

SALEMBA

Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak pelahan
Menuju pemakaman
Siang ini

Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani



1966

Rindu Pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta

(Dibacakan oleh Taufiq Ismail pada: Acara Deklarasi Gerakan Nasional
Pemberantasan Korupsi, Sumatera Barat, di Asrama Haji, Tabing, Padang,
tgl. 15 Ramadhan 1424 H/10 Nopember 2003 M)


 I.
Di awal abad 21, pada suatu Subuh pagi aku berjalan kaki di Bukittinggi,
Hampir tak ada kabut tercantum di leher Singgalang dan Merapi, yang belum
dilangkahi matahari,

Lalu lintas kota kecil ini dapat dikatakan masih begitu sunyi,

 Menurun aku di Janjang Ampek Puluah, melangkah ke Aue Tajungkang,
berhenti aku di depan rumah kelahiran Bung Hatta,

 Di rumah beratap seng nomor 37 itulah, di awal abad 20, lahir seorang
bayi laki-laki yang kelak akan menuliskan alphabet cita-cita bangsa di
langit pemikirannya dan merancang peta Negara di atas prahara sejarah
manusianya,

 Dia tak suka berhutang. Sahabat karibnya, Bung Karno, kepada
gergasi-gergasi dunia itu bahkan berteriak, "Masuklah kalian ke neraka
dengan uang yang kalian samarkan dengan nama bantuan, yang pada
hakekatnya hutang itu".

Suara lantang 39 tahun yang silam itu terapung di Ngarai Sianok, hanyut
di Kali Brantas, menyelam di Laut Banda, melintas di Selat Makassar,
hilang di arus Sungai Mahakam, kemudian tersangkut di tenggorokan 200
juta manusia,


 Dua ratus juta manusia itu, terbelenggu rantai hutang di tangan dan kaki,
di abad kini. Petinggi negeri di lobi kantor Pusat Pegadaian Dunia duduk
antri, membawa kaleng kosong bekas cat minta sekedarnya diisi. Setiap
mereka pulang, hutang menggelombang, setiap bayi lahir langsung dua puluh
juta rupiah berkalung hutang, baru akan lunas dua generasi mendatang.


II.
Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, aku merenung di depan rumah beratap
seng di Aue Tajungkang nomor 37 ini, yang di awal abad 20 lalu tempat
lahir seorang bayi laki-laki

Aku mengenang negarawan jenius ini dengan rasa penuh hormat karena
rangkaian panjang mutiara sifat: tepat waktu, tunai janji, ringkas
bicara, lurus jujur, hemat serta bersahaja,

 Angku Hatta, adakah garam sifat-sifat ini masuk ke dalam sup kehidupanku?
Kucatat dalam puisiku, Angku lebih suka garam dan tak gemar gincu.
Tujuh windu sudah berlalu, aku menyusun sebuah senarai perasaan rindu,

 Rindu pada sejumlah sifat dan nilai, yang kini kita rasakan hancur
bercerai-berai,

Kesatuan sebagai bangsa, rasa bersama sebagai manusia Indonesia, ikatan
sejarah dengan pengalaman derita dan suka, inilah kerinduan yang luput
dari sekitar kita,

 Kita rindu pada penampakan dan isi jiwa bersahaja, lurs yang tabung,
waktu yang tepat berdentang, janji yang tunai, kalimat yang ringkas
padat, tata hidup yang hemat,

Tiba-tiba kita rindu pada Bung Hatta, pada stelan jas putih dan pantaloon
putihnya, symbol perlawanan pada disain hedonisme dunia, tidak sudi
berhutang, kesederhanaan yang berkilau gemilang,

Kesederhanaan. Ternyata aku tak bisa hidup bersahaja. Terperangkap dalam
krangkeng baja materialisme, boros dan jauh dari hemat, agenda serba
bendaku ditentukan oleh merek 1000 produk impor, iklan televise dan gaya
hidup imitasi,


 Bicara ringkas. Susah benar aku melisankan fikiran secara padat. Agaknya
genetika Minang dalam rangkaian kromosomku mendiktekan sifat bicaraku
yang berpanjang-panjang. Angk Hatta, bagaimana Angku dapat bicara ringkas
dan padat? Teratur dan apik? Aku mengintip Angku pada suatu makan siang
di Jalan Diponegoro, yang begitu tertib dan resik,


Tepat waktu. Bung Hatta adalah tepat waktu untuk sebuah bangsa yang
selalu terlambat. Dari seribu rapat, sembilan ratus biasanya telat.
Kegiatanku yang tepat waktu satu-satunya ialah ketika berbuka puasa.


Kelurusan dan kejujuran. Pertahanan apa yang mesti dibangun di dalam
sebuah pribadi supaya orang bisa selalu jujur? Jujur dalam masalah
rezeki, jujur kepada isteri, jujur kepada suami, jujur kepada diri
sendiri, jujur kepada orang banyak, yang bernama rakyat? Rakyat yang di
tipu terus-menerus itu.


Ketika kita rindu bersangatan kepada sepasang jas putih dan pantaloon
putih itu, kita mohonkan kepada Tuhan, semoga nilai-nilai dan sifat-sifat
luhur yang telah hancur berantakan, kepada kita utuh dikembalikan.


 III.

Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, di depan rumah beratap seng di Aue
Tajungkang nomor 37 ini aku menengok ke kanan dan ke kiri, kemudian aku
masuk ke dalamnya, dan di ruang tamu menatap potret dinding aku berdiri,


 Tampaklah Bung Hatta di antara rakyat banyak dalam gambar itu. Tiba-tiba
Bung Hatta keluar dari gambar sepia itu.

Kemudian Bung Hatta berkata: "Ceritakan Indonesia kini menurut kamu"

 Aku tergagap bicara. ^Angku, mangadu ambo kini. Angku, saya mengadu
kini. Krisis berlapis-lapis bagaikan tak habis-habis. Krisis ekonomi,
politik, penegakan hokum, pendidikan, pengangguran, kemiskinan, keamanan,
kekerasan, pertumpahan darah, pemecah-belahan, dan di atas semua itu,
krisis akhlak bangsa,

 "Otoritarianisme panjang menyuburkan perilaku materialistic, tamak,
serakah, tipu-menipu, konspiratif, mengutamakan keluarga dekat,
memenangkan golongan sendiri, dan tingkah laku feodalistik,


Krisis nilai luhur merubah potret wajah bangsa menjadi anarkis,
bringas, ganas, tak bersedia kalah, tak segan memfitnah, memaksakan
kehendak, pendendam, perusak, pembakar dan pembunuh. Kekerasan, api,
batu, peluru, puing mayat, asap dan bom sampai ke seluruh muka bumi,

 Tetapi tentang bom itu, nanti dulu. Sepuluh dua puluh tahun lagi,
lihat, akan terungkap apa sebenarnya sandiwara besar skenario dunia yang
dipaksakan hari ini. Mentang-mentang.

 Aku menarik nafas. Bung Hatta diam. Tak ada senyum di wajahnya
Angku Hatta. Harga apa saja di Indonesia naik semua, kecuali satu.
Harga nyawa. Nyawa murah dan luar biasa jatuh nilainya. Di setiap demo
orang mati. Tahanan polisi gampang mati. Pencuri motor dibakar mati.
Anak-anak sekolah belasan tahun dalam tawuran, tanpa rasa salah dengan
ringan membunuh temannya lain sekolah. Mahasiswa senior yang garang
menggasak, menggampar, menyiksa juniornya sampai mati. Tahun depan
pembunuhan di kampus lain di ulang lagi. Dendam dipelihara dan
diturunkan"


Sesak nafasku. Bung Hatta diam. Matanya merenung jauh.

Alkohol, nikotin, judi, madat, putau, ganja dan sabu-sabu telah meruyak
dan mencengkeram negeri kita, mudah dibeli di tepi jalan, di sekolah, di
mana-mana. Indonesia telah menjadi sorga pornografi paling murah di
dunia. Dengan uang sepuluh ribu anak SLTP dengan mudah bisa membeli VCD
coitus lelaki-perempuan kulit putih 60 menit, 6 posisi dan 6 warna.
Anak-anak SD membaca komik cabul dari Jepang. Di televisi peselingkuhan
dianjurkan dan diajarkan."


Gelombang hidup permisif, gaya serba boleh ini melanda penulis-penulis pula.

Penulis-penulis perempuan, muda usia, berlomba mencabul-cabulkan karya,
asyik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dan kompetisi Gerakan
Syahwat Merdeka. Betapa tekun mereka melakukan rekonstruksi dan
dekonstruksi daftar instruksi posisi syahwat selangkangan abad 21 yang
posmo perineum ini.


 Dari uap alkohol, asap nikotin dan narkoba, dari bau persetubuhan liar
20 juta keeping VCD biru, dari halaman-halaman komik dan buku cabul
menyebar hawa lendir yang mirip aroma bangkai anak tikus terlantar tiga
hari di selokan pasar desa ke seluruh negeri.


Aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu
aku memikirkannya"

Jan aku tenan isin sakpore, sakpore, isin buanget dadi wong Indonesia,
Lek asane dadi nak Indonesia,

Masiripka mancaji to Indonesia,

Jelema Indonesia? Eraeun urang, eraeun,

Malu ambo, sabana malu jadi urang Indonesia,!(*)

 Malu aku jadi orang Indonesia.
(*) Bahasa Jawa, Bali, Bugis, Sunda dan Minangkabau.

 Aku berhenti bicara. Bung Hatta masih tetap diam. Matanya merenung sangat
jauh. Tiba-tiba bayangan wajahnya menghilang.



 IV
Indonesia tersaruk-saruk.
Terpincang-pincang dan sempoyongan,
Dicambuki krisis demi krisis seperti tak habis-habis.
Indonesia kini sedang menangis.
Dari status Negeri Cobaan,
Dia turun derajat menjadi Negeri Azab,
Dan kini sedang bergerak merosot kearah Negeri Kutukan.
Indonesia tak habis-habis menangis.

 Kusut, masai,
Nestapa, duka,
 Pengap dan gelap.
 Dari dalam sumur berlumpur ini,
Dari dasar tubir yang menyesakkan nafas ini
Kami menengadah ke atas,
Masih melihat sepotong langit
Dan mengharapkan cahaya.
Kami tetap berikhtiar,
Terus bekerja keras
Seraya menggumamkan doa.


 Tuhan,
 Jangan biarkan negeri kami
Yang kini sudah menjadi Negeri Azab,
Bergerak merosot kea rah Negeri Kutukan.



 Tuhan,
Mohon,
Jangan ditolak

 Do'a kami.
2003

PRESIDEN BOLEH PERGI PRESIDEN BOLEH DATANG

Sebuah orde tenggelam
sebuah orde timbul
tapi selalu saja ada suatu lapisan masyarakat di atas gelombang itu
selamat
Mereka tidak mengalami guncangan yang berat
Yang selalu terapung di atas gelombang
Seseorang dianggap tak bersalah sampai dia dibuktikan hukum bersalah
Di negeri kami ungkapan ini begitu indah
Kini simaklah sebuah kisah
Seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta rupiah
Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu,
Honda metalik, dan Mercedes merah
Anaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam indah
Setiap semester ganjil istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura

Setiap semester genap istri gelapnya liburan di Eropa dan Afrika
Anak-anaknya ....
Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik dan empat biro jasa
Selain sepupu dan kemenakannya buka lima toko onderdil,
lima biro iklan, dan empat pusat belanja.
Ketika rupiah anjlok terperosok, kepeleset macet dan hancur jadi bubur,
dia, hah!
dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dolar Amerika semua
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit Barat,
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat
Krisis makin menjadi-jadi
Di mana-mana orang antri
Maka 100 kotak kantong plastik hitam dia bagi-bagi
Isinya masing-masing:
Lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng,
dan tiga bungkus mie cepat jadi.
Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi
dan masuk koran halaman lima pagi sekali
Gelombang mau datang,
Datang lagi gelombang setiap bah air pasang
Dia senantiasa terapung di atas banjir bandang
Banyak orang tenggelam toh mampu timbul lagi
lalu ia berkata sambil berdiri:
Yaaa... masing-masing kita kan punya sejeki sendiri-sendiri
Seperti bandul jam bergoyang-goyang kekayaan misterius mau diperiksa
Kekayaan... tidak jadi diperiksa
Kakayaan... mau diperiksa
Kekayaan... tidak jadi diperiksa
Kekayaan... mau diperiksa
Kekayaan... tidak jadi diperiksa
Kekayaan... harus diperiksa
Kekayaan... tidak jadi diperiksa
(Dibacakan di beberapa pentas baca puisi di Jakarta)

NASEHAT-NASEHAT KECIL ORANG TUA PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA

Jika adalah yang harus kaulakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan
Ialah ang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kauagungkan
Ialah hanya Rasul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Ilahi


April, 1965

MENCARI SEBUAH MESJID

Aku diberitahu tentang sebuah masjid
 yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan
 fondasinya batu karang dan pualam pilihan
 atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan
 dan kubahnya tembus pandang, berkilauan
 digosok topan kutub utara dan selatan
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
 dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran
 dengan warna platina dan keemasan
 berbentuk daun-daunan sangat beraturan
 serta sarang lebah demikian geometriknya
 ranting dan tunas jalin berjalin
 bergaris-garis gambar putaran angin
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya
 menyentuh lapisan ozon
 dan menyeru azan tak habis-habisnya
 membuat lingkaran mengikat pinggang dunia
 kemudian nadanya yang lepas-lepas
 disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas
 yang memperindah ratusan juta sajadah
 di setiap rumah tempatnya singgah
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana
 bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya
 engkau berjalan sampai waktu asar
 tak bisa kau capai saf pertama
 sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu
 bershalatlah di mana saja
 di lantai masjid ini, yang luas luar biasa
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
 yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
 dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
 di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian
 yang menyimpan cahaya matahari
 kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan
 ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna
 di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta
 terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya
 tempat orang-orang bersila bersama
 dan bermusyawarah tentang dunia  dengan hati terbuka
 dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
 dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan
 dalam simpul persaudaraan yang sejati
 dalam hangat sajadah yang itu juga
 terbentang di sebuah masjid yang mana
Tumpas aku dalam rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia gerangan letaknya ?
Pada suatu hari aku mengikuti matahari
 ketika di puncak tergelincir dia sempat
 lewat seperempat kuadran turun ke barat
 dan terdengar merdunya azan di pegunungan
 dan aku pun melayangkan pandangan
 mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
 ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
 dia berkata :
"Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan"
 dia menunjuk ke tanah ladang itu
 dan di atas lahan pertanian dia bentangkan
 secarik tikar pandan
 kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
 airnya bening dan dingin mengalir beraturan
 tanpa kata dia berwudhu duluan
 aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
 ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
 hangat air terasa, bukan dingin kiranya
 demikianlah air pancuran
 bercampur dengan air mataku
 yang bercucuran.
 
Jeddah, 30 Januari 1988
Taufiq Ismail

Memang selalu demikian, Hadi

Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Jangan kau gusar, Hadi

Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi

Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan para jagoan kesiangan

Memang demikianlah halnya, Hadi

1966

MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA

I
 

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga 
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa 
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya 
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia 
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia 
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda 
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, 
Whitefish Bay kampung asalnya 
Kagum dia pada revolusi Indonesia 
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya 
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama 
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya 
Dadaku busung jadi anak Indonesia 
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy 
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University 
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army 
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri 
Mengapa sering benar aku merunduk kini 
  

  
II 
  

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak 
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak 
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak, 
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza 
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia 
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata 
Dan kubenamkan topi baret di kepala 
Malu aku jadi orang Indonesia. 
 
 

III 
  

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, 
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi  
berterang-terang curang susah dicari tandingan, 
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu  
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek  
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu, 
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,  
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan  
peuyeum dipotong birokrasi  
lebih separuh masuk kantung jas safari, 
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,  
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,  
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,  
agar orangtua mereka bersenang hati, 
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum  
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas  
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan, 
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan  
sandiwara yang opininya bersilang tak habis  
dan tak utus dilarang-larang, 
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata  
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa, 
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,  
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,  
sekarang saja sementara mereka kalah,  
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka  
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat, 
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia  
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,  
kabarnya dengan sepotong SK  
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi, 
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,  
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman, 
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,  
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar, 
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat  
jadi pertunjukan teror penonton antarkota  
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita  
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan  
yang disetujui bersama, 
 

Di negeriku rupanya sudah diputuskan  
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,  
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil 
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,  
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja, 
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan  
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,  
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,  
Nipah, Santa Cruz dan Irian,  
ada pula pembantahan terang-terangan  
yang merupakan dusta terang-terangan  
di bawah cahaya surya terang-terangan,  
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai  
saksi terang-terangan, 
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,  
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang  
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi. 
 
 

IV 
  

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak 
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak 
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak, 
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza  
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia 
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata 
Dan kubenamkan topi baret di kepala 
Malu aku jadi orang Indonesia. 
 
 

1998

KUTAHU KAU KEMBALI JUA ANAKKU

    Saudara-kandungku pulang perang, tangannya merah Kedua pundak landai tiada tulang selangka Dia tegak goyah, pandangnya pada kami satu-satu Aku tahu kau kembali jua anakku Tiba-tiba dia roboh di halaman dia kami papah Ibu pun perlahanmengusapi dahinya tegar Tanganku amis ibu, tanganku berdarah Aku tahu kau kembali jua anakku Siang itu dia tergolek ibu, lekah perutnya Aku tak membidiknya, tapi tanganku bersimbah Tunduk terbungkuk matanya sangat papa Kami sama rebah, kupeluk dia di tanah Kauketuk sendiri ambang dadamu anakku Usapkan jemari sudah berdarah Simpan laras bedil yang memerah Kutahu kau kembali jua anakku
 
                             Mimbar Indonesia,
                                Th XII, No. 50
                                       1958

Kita adalah Pemilik Sah Republik ini

Tidak ada pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur.

Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
"Duli Tuanku?"

Tidak ada pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangat untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada pilihan lagi. Kita harus
Berjalan terus

1966

diambil dari buku Tirani dan Benteng  
(Yayasan Ananda, Jakarta, 1993, halaman 113)

KETIKA SEBAGAI KAKEK DI TAHUN 2040, KAU MENJAWAB PERTANYAAN CUCUMU

Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu 
Bersama beberapa ribu kawanmu 
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju 
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu 
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru 
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru 
Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru 
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu 
Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu 
Sampai kini sejak kau lahir dahulu 
Inilah pengakuan generasi kami, katamu 
Hasil penataan dan penataran yang kaku 
Pandangan berbeda tak pernah diaku 
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu 
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu 
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu 
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu 
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu 
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu 
Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu 
Maka kami bergeraklah kini, katamu 
Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju 
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu 
Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu 
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu 
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu 
Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu 
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu. 
 
  

1998

KETIKA INDONESIA DIHORMATI DUNIA

Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah
abad yang lewat

Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu
kucatat

Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima
puluh lima

Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun
merdeka

Itulah pemilihan umum yang paling indah dalam
sejarah bangsa

Pemilihan umum pertama, yang sangat bersih dalam
sejarah kita

Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah
jujur dan adil

Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma
dilaksanakan

Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi

Pesta demokrasi tak dilisankan, pesta demokrasi cuma
dilangsungkan

Pesta yang bermakna kegembiraan bersama

Demokrasi yang berarti menghargai pendapat berbeda


Pada waktu itu tak ada huru-hara yang menegangkan

Pada waktu itu tidak ada setetes pun darah
ditumpahkan

Pada waktu itu tidak ada satu nyawa melayang

Pada waktu itu tidak sebuah mobil pun digulingkan
lalu dibakar

Pada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api
berkobar

Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar
sogok-sogokan

Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada
kecurangan


Itulah masa, ketika Indonesia dihormati dunia

Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias
senyuman

Sebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopan

Sebagai massa kita jauh dari kebringasan, jauh dari
keganasan


Tapi enam belas tahun kemudian, dalam 7 pemilu
berturutan

Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi
dalam ukuran

Rakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai
mereka kibarkan

Rasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam
dikobarkan

Kemudian diacungkan tinju, naiklah darah, lalu
berkelahi dan
berbunuhan

Anak bangsa tewas ratusan, mobil dan bangunan
dibakar puluhan


Anak bangsa muda-muda usia, satu-satu ketemu di
jalan, mereka sopan-
sopan

Tapi bila mereka sudah puluhan apalagi ratusan di
lapangan

Pawai keliling kota, berdiri di atap kendaraan,
melanggar semua aturan

Di kepala terikat bandana, kaus oblong disablon, di
tangan bendera
berkibaran

Meneriak-neriakkan tanda seru dalam sepuluh kalimat
semboyan dan
slogan

Berubah mereka jadi beringas dan siap mengamuk,
melakukan kekerasan

Batu berlayangan, api disulutkan, pentungan
diayunkan

Dalam huru-hara yang malahan mungkin, pesanan



Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan

Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah
kurasakan

Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku

Bangsaku.



2004

KETIKA BURUNG MERPATI SORE MELAYANG

Langit akhlak telah roboh di atas negeri 
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri 
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini 
Negeriku sesak adegan tipu-menipu 
Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku 
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku 
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku 
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku 
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku 
  

Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan 
Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan 
Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan 
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan 
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan 
   

Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan 
Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan 
Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan 
Berjuta belalang menyerang lahan pertanian 
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan 

  
Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api 
Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti 
Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri 
Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini 
Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api 
Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi 
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri 

  
Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga 
Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi 
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri 
Seluruh korban empat tahun revolusi 
Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah ngeri 
Aku termangu mengenang ini 
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri 

  
Ada burung merpati sore melayang 
Adakah desingnya kau dengar sekarang 
Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan 
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan 
Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah 
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku 
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu? 
 

Ada burung merpati sore melayang 
Adakah desingnya kau dengar sekarang 
  

  
1998

KEMBALIKAN INDONESIA PADAKU kepada Kang Ilen

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, 
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, 
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,  
yang menyala bergantian, 
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam  
dengan bola  yang bentuknya seperti telur angsa, 
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam  
karena seratus juta penduduknya, 
 
Kembalikan  
Indonesia 
padaku 
 
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam  
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat, 
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam  
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, 
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,  
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,  
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, 
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang  
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam  
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan, 
 

                                        Kembalikan 
                                        Indonesia 
                                        padaku 
 

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam  
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, 
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam  
karena seratus juta penduduknya, 
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,  
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, 

                                        Kembalikan 
                                        Indonesia 
                                        padaku 
 
  

Paris, 1971

KALIAN CETAK KAMI JADI BANGSA PENGEMIS, LALU KALIAN PAKSA KAMI MASUK MASA PENJAJAHAN BARU, Kata Si Toni

Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri 
Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan 
Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami 
Sejak lahir sampai dewasa ini 
Jadi sangat tepergantung pada budaya 
Meminjam uang ke mancanegara 
Sudah satu keturunan jangka waktunya 
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula 
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni 
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi 
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini 
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi 
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia 
Kita gadaikan sikap bersahaja kita 
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta 
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka 
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita 
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia 
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama 
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia 
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi 
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri 
Sambil kepala kita dimakan begini 
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti 
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi 
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni 
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama 
Menggigit dan mengunyah teratur berirama 

Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi 
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini 
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam 
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang 
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang 
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya 
Meminjam kepeng ke mancanegara 
Dari membuat peniti dua senti 
Sampai membangun kilang gas bumi 
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi 
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi 
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri 
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis 
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis 
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa 
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa 
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya 
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami 
Kalian lah yang membuat kami jadi begini 
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi 
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini 
  
 

1998

JAWABAN DARI POS TERDEPAN

Kami telah menerima surat saudara
Dan sangat paham akan isinya
Tetapi tentang pasal penyerahan
Itu adalah suatu penghinaan
 
Konvoi sejam lamanya menderu
Di kota. Api kavaleri memancar-mancar
Di roda-rantai dan aspal
Angin meniup dalam panas dan abu
Abu baja. Nyala yang menggeletar-geletar
Sepanjang suara

Kami yang bertahan
Beberapa ratus meter jauhnya
Bukanlah serdadu-serdadu bayaran
Atau terpaksa berperang karena pemerintahan
 
Kebebasan manusia di atas buminya
Adalah penyebab hadir pasukan ini
Dan pasukan-pasukan lainnya
Impian akan harga kemerdekaan manusia
mengumpulkan seorang tukang cukur, penanam-penanam sayur
gembala-gembala, (semua buta huruf) kecuali dua anak SMT
sopir taksi dan seorang mahasiswa kedokteran
dalam pasukan
di pos terdepan ini
Terik dan lengang dipandang tak bertuan
Abu naik perlahan dari bumi
Bumi yang telah diungsikan
Guruh dari jauh, konvoi menderu
Suara panser dan  tank-tank kecil
Mengacukan senjata-senjata baru
Kami tidak punya batalion paratroop
Cadangan sulfa, apalagi mustang dan lapis-baja
Kami hanya memiliki karaben-karaben tua
Bahkan bambu pedesaan, ujungnya diruncingkan
Pasukan ini tak bicara dalam bahasa akademi militer
Tidak juga memiliki pengalaman perang dunia
Tetapi untuk kecintaan akan kebebasan manusia
Di atas buminya
Pasukan ini sudah menetapkan harganya
Sebentar lagi malampun akan turun
membawa kesepian ajal adalam gurun

Tidakkah engkau bisa menempatkan diri
sebentar, di tempat kami
Memikirkan bahwa ibumu tua diungsikan
tersaruk-saruk berjalan kaki
Setelah rumah-rumah di kampungmu dibakari
setelah adik kandungmu ditembak mati
Adakah demi lain, yang mengatasi
demi kemanusiaan ?
Adakah ?
Di seberang sini berjaga pengawalan
Tanpa gardu dan kemah, berbaju lusuh dalam semak
Dialah yang terdepan dengan sepucuk Lee & Field
Dialah huruf pertama dari Republik
 
 
 
Indonesia,
Th XV, No. 2
17 Agustus 1965
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

Jalan Segara

Di sinilah penembakan
Kepengecutan
Dilakukan

Ketika pawai bergerak
Dalam panas matahari

Dan pelor pembayar pajak
Negeri ini

Ditembuskan ke pungung
Anak-anaknya sendiri


1966

DOA

Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun-tahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani

Ampunilah kami
Ampunilah
Amin

Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan AsmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu

Ampunilah kami
Ampunilah
Amin

1966

Dari Ibu Seorang Demonstran

"Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini"

Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau gas airmata
Tapi langsung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu

Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)

Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sedan)

Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kau teriakkan kebencian
Atau dendam kesumat
Pada seseorang
Walapun betapa zalimnya
Orang itu

Niatkanlah menegakkan kalimah Allah
Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta rasul kita yang tercinta

pergilah pergi
Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini

(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka
Dan berangkatlah mereka bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata)


1966

DARI CATATAN SEORANG DEMONSTRAN

Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan

Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba dihancurkn
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan

1966

Jumat, 25 Maret 2011

BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN

             Pada tahun keenam
             Setelah di kota kami didirikan
             Sebuah Musium Perjuangan
             Datanglah seorang lelaki setengah baya
             Berkunjung dari luar kota
             Pada sore bulan November berhujan
             dan menulis kesannya di buku tamu
             Buku tahun keenam, halaman seratus-delapan

                Bertahun-tahun aku rindu
                Untuk berkunjung kemari
                Dari tempatku jauh sekali
                Bukan sekedar mengenang kembali
                Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
                Di daerah ini
                Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
                Dan potret-potret para pahlawan
                Mengusap-usap karaben tua
                Baby mortir buatan sendiri
                Atau menghitung-hitung satyalencana
                Dan selalu mempercakapkannya

                Alangkah sukarnya bagiku
                Dari tempatku kini, yang begitu jauh
                Untuk datang seperti saat ini
                Dengan jasad berbasah-basah
                Dalam gerimis bulan November
                Datang sore ini, menghayati musium yang lengang
                Sendiri
                Menghidupkan diriku kembali
                Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
                Di waktu kebebasan adalah impian keabadian
                Dan belum berpikir oleh kita masalah kebendaan
                Penggelapan dan salahguna pengatasnamaan

                Begitulah aku berjalan pelan-pelan
                Dalam musium ini yang lengang
                Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
                Kesangkutan ikat-ikat kepala, sangkur-sangkur
                berbendera
                Maket pertempuran
                Dan penyergapan di jalan
                Kuraba mitraliur Jepang, dari baja hitam
                Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt

                PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu
                Gambar lasykar yang kurus-kurus
                Dan kuberi tabik khidmat dan diam
                Pada gambar Pak Dirman
                Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
                Ke ruangan yang sepi dan dalam
                Jendela musium dipukul angin dan hujan
                Kain pintu dan tingkap bergetaran
                Di pucuk-pucuk cemara halaman
                Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan

                            Deru konvoi menjalari lembah
                            Regu di bukit atas, menahan nafas

                Di depan tugu dalam musium ini
                Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah
                Aku berdiri dan menatap nama-nama
                Dipahat di sana dalam keping-keping alumina
                Mereka yang telah tewas
                Dalam perang kemerdekaan
                Dan setinggi pundak jendela
                Kubaca namaku disana.....

                        GUGUR DALAM PENCEGATAN
                        TAHUN EMPATPULUH-DELAPAN

                Demikian cerita kakek penjaga
                Tentang pengunjung lelaki setengah baya
                Berkemeja dril lusuh, dari luar kota
                Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya
                Datang ke musium perjuangan
                Pada suatu sore yang sepi
                Ketika hujan rinai tetes-tetes di jendela
                Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
                Lelaki itu menulis kesannya di buku-tamu
                Buku tahun-keenam, halaman seratus-delapan
                Dan sebelum dia pergi
                Menyalami dulu kakek Aki
                Dengan tangannya yang dingin aneh
                Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh
                Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
                Ke tengah gerimis di pekarangan
                Tetapi sebelum ke pagar halaman
                Lelaki itu tiba-tiba menghilang

BAYI LAHIR BULAN MEI 1998

Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga 
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba 
Begitu lahir ditating tangan bidannya 
Belum kering darah dan air ketubannya 
Langsung dia memikul hutang di bahunya 
Rupiah sepuluh juta 
  

Kalau dia jadi petani di desa 
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota 
Kalau dia jadi orang kota 
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya 
Kalau dia bayar pajak 
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing 
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing 
 

Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga 
Mulutmu belum selesai bicara 
Kau pasti dikencinginya. 

  
1998

BAGAIMANA KALAU

Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, 
tapi buah alpukat, 
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat, 
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, 
dan kepada Koes Plus kita beri mandat, 
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, 
dan ibukota Indonesia Monaco, 
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, 
salju turun di Gunung Sahari, 
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin 
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop, 
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia 
dibayar dengan pementasan Rendra, 
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, 
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan, 
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di 
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki 
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara 
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan 
margasatwa Afrika, 
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil 
mempertimbangkan protes itu, 
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita 
pelihara ternak sebagai pengganti 
Bagaimana kalau sampai waktunya  
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi. 
 

1971

1946 : LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK

                            Sebuah Lasykar truk
                            Masuk kota Salatiga
                            Mereka menyanyikan  lagu
                             'Sudah Bebas Negeri Kita'

                            Di jalan Tuntang seorang anak kecil
                            Empat tahun terjaga :
                            'Ibu, akan pulangkah Bapa,
                             dan membawakan pestol buat saya ?'
                                                                                         (1963)


                                                                                         Budaja Djaja
                                                                                         Thn. VI, No. 61

                                                                                        Juni 1973

Profil taufiq ismail

Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan. Pada tahun 1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia

Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963. Pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai studi bahasanya.

Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962).
Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.

Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin majalah itu.





Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).

Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia.
Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali.

Hasil karya:

1. Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)
2. Benteng, Litera ( 1966)
3. Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972)
4. Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
5. Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976)
6. Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
7. Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993)
8. Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995)
9. Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan repoduksi lukisan 50 pelukis, dua bahasa, memperingati ulangtahun ke-50 RI), Yayasan Ananda (1995)
10. Seulawah — Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S.), Yayasan Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995)
11. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (199 8)
12. Dari Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2001), Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)
13. Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4) (editor bersama Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2000-2001, Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2002)

Karya terjemahan:
1. Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960)
2. Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962)
3. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964)

Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah menghasilkan sebanyak 75 lagu.

Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.

Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus perpustakaan PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya, serta bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service, AS menyelenggarakan pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 ia terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS International, New York.

Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden Megawati (2002).

Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.

Anugerah yang diterima:

1. Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970)
2. Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)
3.South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)
4. Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994)
5. Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor,
Malaysia (1999)
6. Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003)

Taufiq Ismail menikah dengan Esiyati Yatim pada tahun 1971 dan dikaruniai seorang anak laki-laki, Bram Ismail. Bersama keluarga ia tinggal di Jalan Utan Kayu Raya 66-E, Jakarta 13120.